Di Sudut Teras Rumahku

                                                Di Sudut Teras Rumahku 

Aku duduk di teras rumah. Kusandarkan bahuku pada tiang bambu yang menyangga atap. Kaki kanan kutekuk ke atas, kedua telapak tangan memegang lutut. Sementara kaki kiriku terbujur. Pandangan mataku tertuju pada jalanan yang melintas tepat di depan rumahku. Tempat lalu lalang kendaraan bermotor, juga para pejalan kaki menapaki tujuannya.

Sepi. Jalanan yang biasa ramai itu kini sepi. Biasanya, setiap hari berbagai macam cerita terekam indah di jalanan ini. Senyum ramah yang menghiasi pagi hari sirna. Tutur sapa dan canda tawa musnah tak tahu rimbanya. Kuhela napas berat, mencoba menekan beban berat di dada. Tak terbayang, sampai kapan kesepian akan membayangi jalanan ini.

Di ujung jalan bagian selatan dan timur, sebagai akses masuk, telah dipasangi portal. Semua warga dilarang keluar dari kediaman masing-masing. Sampai saat ini, penyebabnya belum diketahui secara pasti. Kabar kabur, kata orang jawa. Masing-masing warga mempunyai ceritanya sendiri-sendiri. Kasak kusuk yang beredar semakin membuat situasi di lingkunganku semakin mencekam. Yang pasti, semua berawal dari kecelakaan yang menimpa keluarga Seno. Hemmmm.... kuhela nafas panjang, melepas penat yang sedari tadi membayangi batinku.

Kata Tetua kampung, di kampungku sedang kedatangan tamu yang tidak diundang. Wujudnya tidak kasat mata. Hanya orang waskita yang bisa merasakan kedatangannya. Masih menurutnya, ada konsekuensi yang harus dijalankan oleh warga jika ingin tamu itu tidak mengganggu. Sesajen. Ya, sepuluh ekor ayam kampung, dimasak ingkung, ditambah nasi kuning, dan bermacam hidangan pala pendem. Pelaksanaannya harus segera, jumat minggu ini. Jika tidak, sang tamu akan mencelakai seluruh warga dengan sekali tiup saja. Ahhhhh.... betapa menyeramkan ceritanya.

Lain Tetua, lain pak Saim, guru ngaji di Langgar ujung jalan. Menurutnya, ini semua teguran dari yang Maha Kuasa. Warga telah lalai, mengabaikan segala perintahNya. Dulu, ceritanya, unggah-ungguh di kampungku sangat dijunjung tinggi. Senyum dan sapa menjadi menu utama saat warga saling jumpa. Anak muda menghormati yang tua, pun sebaliknya yang tua mengasihi yang muda. Semua itu kini pudar, lenyap terbawa angin dari barat.

Menurut pak Saim, solusinya hanya satu, semua warga taubat. Tidak ada jalan lain yang akan mengakhiri semua ini kecuali taubat. Beliau sangat menentang aksi yang akan dilakukan oleh Tetua dan pengikutnya. Kegiatan itu hanya akan menambah azab yang akan diturunkan Tuhan, katanya. Syirik hanya akan menyesatkan umat, dosa syirik tidak terampuni, tambahnya. Tuhan, sampai kapan semua ini akan berakhir? Masalah utama belum terselesaikan, kini bertambah masalah baru. Perseteruan Tetua dan pak Saim. Hmmmm.... kuhela lagi napas panjang. Masih dalam posisiku semula.

Keluarga Seno, sampai sekarang belum bisa dimintai keterangan pasti. Seno belum sadarkan diri. Tubuhnya masih terbujur kaku di rumah sakit. Sementara bapak dan ibunya, mendengar anak semata wayangnya kecelakaan, seketika penyakit lamanya kambuh. Hipertensi. Bahkan, ceritanya, kondisinya semakin memburuk. Sepatah kata pun tidak bisa diajak bicara, stroke.

Pak Bejo sebagai saksi pertama kejadian itu juga bingung. Yang dia tahu, sore itu, menjelang maghrib dia akan pergi ke Langgar. Samar-samar dari kejauhan dilihatnya seseorang sedang telungkup di jalan. Di seberang, nampak sepeda motor yang terbalik. Tanpa menunggu komando, pak Bejo langsung berteriak minta tolong. Warga pun berdatangan, secepat kilat membawa korban ke rumah sakit. Setelah kejadian sore itu, kesehatan pak Bejo mendadak turun drastis. Hari-hari biasa, dia rajin jamaah di Langgar. Tapi kini, waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah. Termenung sendiri. Dia membisu.

Hmmm.... kesekian kalinya aku menarik napas panjang. Diantara remang sinar matahari sore yang sedang menuju peraduan, sayup-sayup kudengar suara renta emak sedang membaca kalamNya.

“wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”

 Penulis: Cah Panggul (Cak Ashrofi UPTQ’10)

Komentar

Postingan Populer