SPIRITUALITAS RAMADHAN DI TENGAH PANDEMI
SPIRITUALITAS
RAMADHAN DI TENGAH PANDEMI
Oleh: Senata Adi Prasetia[1]
Tak terasa Ramadhan
telah memasuki pertengahan. Berbagai selebrasi dilakukan misalnya peringatan
nuzulul quran meski di tengah pandemi COVID-19. Suasana ramadhan kali ini
begitu hening. Masyarakat pun diminta oleh otoritas terkait untuk tetap berada
di rumah saja. Segala pernak-pernik eksoteris ramadhan yang mengundang
kerumunan massal ditanggalkan – untuk tidak mengatakan harus – demi menyumbat
diseminasi pandemi ini. Semenjak kemunculannya 2 Maret 2020 bermula dari 2
orang positif hingga saat ini telah mencapai belasan ribu kasus positif yang
terkonfirmasi dan diprediksikan angka tersebut kian meningkat. Kementerian
Agama, MUI dan ormas keislaman mainstream sebut saja NU &
Muhammadiyah kompak imbau shalat jumat, shalat tarawih dan tadarus serta ritual
peribadatan lainnya untuk tetap dikerjakan di rumah.
Detoksifikasi Spiritual
Ketamakan manusia
akan hal-hal yang bersifat hedon mengundang energi negatif ke dalam dirinya.
Maka berpuasa menjadi penting sebagai ikhtiar tazkiyatun nafs
(pembersihan dan penyucian diri). Berpuasa mampu merekonstruksi keseimbangan
hidup dan menyelaraskan kebutuhan ruhani serta jasmani, di samping mendekat
kepada Tuhannya. Dari sudut semantik, kata shiyam bermakna imsak yang
berarti menahan diri. Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari hal-hal
yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Puasa dalam pengertian luas bisa disesuaikan dengan konteksnya misalnya menahan
diri dari emosi, menahan untuk tidak berbicara kotor dan sebagainya.
Dari shiyam
ini, manusia diajak berkontemplasi diri bagaimana sejatinya berpuasa. Inilah
yang kemudian disebut – meminjam istilah Masdar Hilmy – spiritual distancing
(jaga jarak spiritual) antara jiwa dan rohani kita dengan segala hal yang
berbau kenikmatan duniawi. Penempaan ruhani untuk menyadarkan bahwa segala yang
bernyawa pasti mati dan yang mati tapi hidup sebagaimana yang dilukiskan Q.S.
al-Rum [30]: 50 dan Q.S. Ali Imran [3]: 169 sangat dibutuhkan. Maka, puasa yang
bersifat samdaniyyah (sifat khusus yang hanya dimiliki Allah) tidak
sekadar “pembengkelan” libidinal semata, akan tetapi menghantarkan manusia pada
kesadaran sosial. Dari kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial. Aktivasi
kesadaran berpuasa berujung pada keniscayaan manusia menjadi murid (yang
menghendaki Allah) dan salik (yang rindu akan kehadirannya). Ibn
Atha’illah al-Sakandari dalam al-Hikam nya menyebut orang yang dekat
kepada Allah adalah murad (yang dikehendaki Allah) dan murid
(yang menghendaki Allah). Tingkatan murad akan dicapai manakala hati kita
bersih dari sifat keduniawian. Penghalang-penghalang itu akan diruntuhkan ketika
puasa, dengan syarat puasa bukan formalitas belaka.
Karenanya,
seseorang tidak dikehendaki hanya menjadikan Ramadhan sebagai rutinitas tahuan.
Puasa yang merepresentasikan kondisi lapar dan dahaga sejatinya menajamkan mata
batin kita dalam menggapai kebersihan jiwa. Sindiran sufi hendaknya patut kita
renungkan bersama, “dulu pada zaman permulaan Islam, Muslim makan untuk hidup.
Namun kini, Muslim hidup untuk makan.” Perbedaan orientasi antara dulu dan
sekarang menjadikan Islam mengalami kemunduran. Itu sebabnya mengapa Allah swt
mewajibkan puasa dengan menggunakan redaksi amanu (orang-orang yang
beriman) dan dipungkasi dengan la ‘allakum tattaqun (supaya kamu
bertakwa). Pembuka dan penutup itu sebagai bentuk aksentuasi dalam Islam bahwa
untuk mendapat predikat tattaqun meniscayakan perubahan status dari
Muslim menjadi Mukmin.
Predikat mukmin
saja tidak cukup jika nafsu libidinal masih mencengkeram kuat dalam hatinya.
Sifat keduniawian tetap dibutuhkan sebagai perantara bukan tujuan akhir. Di
sinilah puasa diibaratkan dengan “tiryaq” penawar bagi racun-racun libidinal
atau semacam detoksifikasi spritual. Dengan puasa, kita akan menekan naluri
kebinatangan (al-Bahimiyyah) yang mungkin selama ini menguasai diri.
Puasa akan melumpuhkan naluri-naluri binatang, yang sebelumnya berkeliaran
bebas tanpa terkendali oleh diri kita.
Eksemplar
Kesalehan Sosial
Bidikan
utama restorasi Ramadhan adalah manusia itu sendiri. Jika dilakukan secara
benar dan totalitas, Ramadhan menjadi madrasah utama dalam mengkaramkan segala
bentuk keakuan (selfish gene) yang menegasikan sang liyan sekaligus
menumbuhkan sifat-sifat altruistik, produktif dan konstruktif yang tersemat
dalam tiap perilakunya. Di sinilah ibadah puasa Ramadhan memiliki fungsi
detoksifikasi eksistensial sekaligus peremajaan nilai-nilai sosial bersama. Sebagai
bagian dari rukun Islam, nilai dan hikmah puasa tak bisa dilepaskan dengan
ajaran 4 rukun Islam lainnya. Jika syahadat merupakan bentuk deklarasi formal
menghambakan diri kepada Sang Maha Pencipta, shalat sebagai wahana character
building, zakat sebagai ajang tazkiyatun nafs (pembersihan diri)
dari belenggu materi, serta haji sebagai pendidikan universal tentang
kemanusiaan, maka ibadah puasa adalah eksemplar kesalehan sosial
mengesampingkan sifat keakuan.
Ibadah
puasa adalah ibadah yang bertujuan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan
bagi pelakunya. Ketakwaan ini tercermin dalam kesalehan individual dan sosial.
Kesalehan individual dipresentasikan dari perilaku sehari-hari, seperti jujur,
amanah, rendah hati, sederhana dan hal-hal baik lainnya. Sedangkan, kesalehan
sosial misalnya dalam bentuk kedermawanan, tanggung jawab sosial, sikap empati
dan peduli terhadap sesama. Puasa, kata Ibnul Qayyim al-Jauzi, “dapat
mengingatkan bagaimana rasanya perut keroncongan dan dahaga yang membakar
sebagaimana yang dirasakan para fakir miskin.” Puasa telah mampu menggugah
kepekaan sosial, membangun kepedulian, dan merevitalisasi nilai-nilai
kemanusiaan. Bulan Puasa telah menjadi bulan kesalehan sosial (Syahr
al-Muwasah). Wallahu A’lam []
[1] Kepala Bidang Tahfid UKM-UPTQ UINSA Tahun 2018, Penulis Buku “Antologi
Dasar Pemikiran Para Filsuf Islam di Dunia Timur”, Alumni S1 Pendidikan Agama
Islam (PAI) UIN Sunan Ampel Surabaya 2020, Wisudawan Terbaik Non Akademik
Tahfidh Alquran UIN Sunan Ampel Surabaya 2020.
Komentar
Posting Komentar