Sebiji Keyakinan untuk Menghafal
Sebiji Keyakinan untuk Menghafal
Kongkorongkong...! Korongkooong..!
Kukuruyuk..! Kukuruyuuk...!
Ayam jantan dan ayam betina saling beradu
suara dan nada seolah berteriak membangunkan orang-orang seisi alam semesta, “Bangunlah”. Makna suara
ayam itu disebut sebagai ajakan bangun dan mengawali aktifitas dini hari. Dilanjut
adzan shubuh yang dilantunkan oleh bapak Hayat selaku takmir dan mu’adzin di Masjid
Muayyad dekat rumahnya. Belum lagi suara handphone Aisyah dengan speakernya
yang khas dan keras, dengan inisiatif agar dirinya terbangun lebih pagi dari
biasanya. Pasalnya semenjak Aisyah kuliah dan hidup di rumah bersama orang
tuanya, dia sangat kesulitan bangun pagi. Bahkan ketika alarm tersakti di dunia
membangunkannya, ibu, tidak bisa juga melawan kantuknya Aisyah ketika tidur. “Tidak
akan bangun kak Aisyah, Bu. Kecuali kalau memang sudah cukup waktu tidurnya.”
Keluh adiknya yang enggan lagi membangunkan orang mati.
Perempuan semampai—semeter tak sampai (panggilan
Romli adik Aisyah) karena memang bertubuh mungil itu. Kulitnya kuning terang
seperti buah nanas muda yang sudah dikupas. Dia mengalami quarter life crisis,
sehingga kemalasan mendominasi alam bawah sadarnya. Baginya rebahan adalah
kewajiban dalam tiap menit dia melakukan kegiatan.
Aisyah memang sengaja kuliah di siang hari
sampai malam terkadang, demi waktu paginya untuk tidur. Saat semua orang sibuk
mencari jati diri dengan berproses, Aisyah justru mengalami depresi luar biasa
sehingga kuliahnya saja penuh dengan izin, alpa dan sakit.
“Nanti aku titip absen ya, ada urusan mendadak.”
Aisyah membisik dan men-chat ulang setelah tiba di suatu tempat tidak
jauh dari sekitar kampus.
Husnul, teman kelasnya ini selalu mengangguk
dan tidak pernah menolak ketika Aisyah meminta bantuan, Husnul memang mudah
dimanfaatkan, “Hushh, malaikat menang kali ini, aku tidak berani berpikiran
seperti itu, memanfaatkan orang baik.” Gumam Aisyah beradu dengan hati
nuraninya.
Aisyah sebenarnya seorang introvert, dengan
gaya introvert yang suka dengan pekerjaan yang sistematis itu Aisyah sulit sekali mengatur. Perubahan dunia baru
setelah lulus dari pondok begitu terkejut dia rasakan, pasalnya selain dunia
bebas yang dirasakan oleh mahasiswa juga perkembangan pemikiran sangat diuji di
fase beranjak dewasa. Maka bagi Aisyah sulit sekali beradaptasi dengan
lingkungan baru.
“Dulu aku pernah sangat ingin dan bercita-cita
menjadi penghafal alquran, bayangin alquran aja tcoy sekarang aku ga
berani.” Seriusnya Aisyah bercerita dengan Tuti Gendut—sapaan akrabnya.
“Lah makanya dicoba lagi, dong. Dekati terus.”
Tuti berusaha mendorong keinginan Aisyah kembali menghafal alquran. Aisyah
spontan mengangkat tangan dan mengisyaratkan agar Tuti tidak melanjutkan nasihatnya.
“Percuma, aku bosan dengaan segala nasihat orang-orang. Pak Kyai, Ibu Nyai,
guru, orangtua, sahabat, orang mulia bahkan pacar nih kalopun ada. Sudah
memberi ajian-ajian biar aku bangkit. But they do for nothing. Maap-maap
nih ya, Aku aja benci sama diri aku sendiri. Boro-boro ngafalin quran, tugas
kuliah aku kerjain tanpa niat.” Keluh Aisyah seolah paling menderita di muka
bumi.
Aisyah sempat berniat untuk berhenti kuliah
dan ingin memulai hidup baru dengan menikah. Mengingat usianya tidak cukup
buruk untuk memulai kehidupan baru. Seorang lelaki pun banyak yang ingin
mengkhitbah dia, namun apalah daya. Ibu terus memintanya untuk menyelesikan
studinya hingga lulus. Permintaan ibu memang hanya sekedar lulus, tapi ada
hasrat “aku ingin jadi yang terbaik” dalam diri Aisyah. Entah pola hidupnya
berantakan, tidak seperti dulu ketika Aisyah kecil. Prestasi Aisyah memang
cenderung naik turun.
**
“Is, ayo ngopi” ajakan semacam ini sering
terdengar setiap hari bahkan setiap malam. Ais tidak pernah berani menolak.
Bagi Aisyah, ini adalah sebuah pelajaran dalam bersosialisasi, mencari relasi
dan berbagi literasi. Aisyah tidak mengiyakan pendapat Ibu untuk tidak
mengikuti kegiatan yang lain. Atau malah justru memperbanyak nongkrong di warung
kopi.
“Oke, siap!” Jawaban Aisyah selalu mantap
terdengar, bahkan ketika senior memanggilnya tengah malampun dia akan seagresif
mungkin merespon.
Ibu tidak pernah lupa untuk memberi nasihat
kepada Aisyah bahwa perempuan sebisa mungkin membatasi diri, menjaga dan
menghindari fitnah. Dengan kesabaran ibu, Aisyah selalu selamat dari pengaruh
buruk yang telah menimpanya. Selalu ada saja orang baik yang mengelabuhi Aisyah
dalam bergul. Ibu merasa bahwa hanya doa yang akan bisa membantu, ibu menyerah
karena nasihatpun tidak lagi didengar Aisyah.
Gejolak nurani Aisyah selalu bertengkar hebat,
di sisi lain Aisyah selalu merasa bahwa Aisyah salah telah melawan, namun di
sisi lain Aisyah merasa ibu dan keluarganya tidak pernah mengerti apa yang
Aisyah rasa dan Aisyah derita.
“Kalau boleh mati dengan Husnul Khatimah, aku
memohon sekarang Tuhan.” Titik Aisyah mengeluh dan berputus asa dengan hidup
yang tidak pernah sesuai dengan inginnya. Tentang hidup yang selalu
bertentangan, selalu berhamburan dan tidak pernah serasi. “Aisyah menyerah
Tuhan.” Semakin banyak kalimat-kalimat lemah yang dilayangkan Aisyah pada
Tuhan.
**
Ketika diijabahnya doa ibu yang setiap malam
tidak pernah berhenti terputus. Aisyah perlahan terbuka dengan jalan bertemu
orang-orang shalihah menurut Aisyah. Di sebuah masjid di daerah kampusnya,
seorang wanita menyapa dengan lemah lembut kemudian saling memperkenalkan diri masing-masing. Wanita berpakaian syar’i ini
seolah selalu mengajak kepada kebaikan.
“Dek Aisyah mau terus ngaji dan mempelajari
islam? Nanti bisa ikut mbak ngaji di salah satu kosnya teman mbak.” Ajak wanita
berkulit putih dengan mata besar berbinar.
“Iya, mbak. Aisyah mau.” Dengan setengah hati
Aisyah menerima ajakan dia, karena Aisyah masih tidak yakin pada semua orang
kecuali senior angkatannya, sebut saja Cak Udin.
Tak lama berselang, Aisyahpun tetap setengah
hati mengikuti kajian islam komunitas itu. Terkadang Aisyah mencari-cari alasan
agar tidak mengikuti ajakan Mbak.
Lagi-lagi dunia masih memihak pada Aisyah,
berkat doa ibu. Seorang lelaki yang memiliki komunitas literasi tiba-tiba duduk
di samping kursi Aisyah di salah satu warkop (baca:warungkopi) dekat kampus.
Seolah kenal dekat dengan lelaki itu Aisyah dengan senang hati berbicara sambil
menyerudup kopi hitam. Pembahasan mereka akhirnya mengarah kepada organisasi
masyarakat (baca:ormas) islam. Diantaranya NU, Muhammadiyah, sampai kepada yang
illegal di Indonesia yaitu HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Aisyah terus
memancing pertanyaan.
“Apa si ajaran dari HTI itu? Trus, buku apa aja yang jadi landasan mereka
kak?” cecar Aisyah mengingat beberapa waktu ini dia diajak wanita berjubah yang
ketemu di masjid waktu itu. Pakaian semua yang berada di sana juga mengenakan
jubah.
“Ada kitab namanya Nidzamul Islam, mereka
membahas itu utuk tingkatan dasarnya. Semua peraturan hidup mereka ambil dari
kitab itu.”
Aisyah remang-remang mengingat ada sebuah
kitab berwana putih yang diberi oleh Mbak itu semasa mengajak kajian rutin satu
minggu sekali.
Menyadari itu membuat Aisyah semakin paranoid
dan semakin sulit mempercayai orang lain maupun dirinya sendiri. “Tidak ada
menghafal alquran, tidak ada prestasi, tidak ada dan tidak ada.” Keluh Aisyah
menunduk menyesali diri.
Sekian
(lilia Fitria)
Komentar
Posting Komentar