Moderasi Islam Part 3

Berikan Solutif, Tidak Ekstrimis dan Radikalis

Tepat pada tanggal 4 Maret 2019, Departemen Kajian kembali mengadakan kopi klasik yang bertema tentang “Moderasi Islam”, khususnya pada hukum-hukum Islam. Mereka tidak tanggung-tanggung mengenai materi tersebut langsung mendatangkan salah satu Pengurus Komisi Dakwah MUI Jatim, yaitu Nur Kholis Majid. Hujan bukan lagi penghalang, dengan sepedanya beliau tetap bersemangat untuk menghadiri undangan tersebut.

Seorang da’i yang secara langsung berbaur dengan anggota UPTQ telah mencairkan suasana. Tidak hanya dari suara narasumber tetapi peserta yang hadir turut berantusias. Begitu  dengan penyamapaian materi yang berdurasi sekitar 30 menit tidak memberikan rasa bosan saat mendengarkannya.

Pembahasan moderasi sangat digadung-gadungkan untuk saat ini, maka dari itu Departemen Kajian menata dengan baik konsepnya agar kita sebagai umat islam dapat memahami secara benar tentang moderasi. Salah satu dalil yang menunjukkan adanya moderasi yaitu surat al-Baqarah ayat 143. Lebih ditekankan pada lafadz wasatha (umat yang tengah), atau biasa disebut dengan wasathiyah. Dari lafadz tersebut dapat memberikan petunjuk perlunya sikap moderasi dalam beragama.  Jika ada kubu kanan dan kubu kiri maka sebagai kaum moderat akan memilih jalan tengah. Ustadz Kholis menambahkan, mereka adalah kaum yang tidak ekstrim kanan maupun ekstrim kiri, tidak memilih untuk liberal maupun radikal. Dapat kita analogikan jika terdapat opsi A.B.C maka kaum moderat akan memilih yang B. Begitu pula jika terdapat arah utara maupun selatan, pasti akan memilih arah diantara keduanya.

Pada kesempatan ini ustadz Kholis memberikan arahan manakah bagian hukum islam yang dapat berubah sesuai zaman maupun tetap sepanjang zaman. Hukum islam dari segi ketetapannya dibagi menjadi dua yaitu secara syariah dan fiqih. Hukum yang telah ditetapkan secara syariah hukumnya qath’i, contohnya seperti sholat, zakat, puasa maupun haji. Keempat dari rangkaian rukun Islam tidak akan berubah sepanjang zaman.

Lain dengan fiqih yang merupakan hasil produk dari para mujtahid. Hukum yang ditetapkan melalui jalan ijtihad dapat berubah jika adanya kondisi, situasi dan motivasi. Salah satu contoh yang terjadi pada 4 madzhab saat menafsirkan lafadz  lamasa (menyentuh) dapat memberikan penafsiran yang berbeda-beda tetapi memiliki maksud sama. Imam hambali menyatakan bahwa apabila tersentuh tidak akan batal , tetapi jika keduanya menyentuh dengan sengaja maka batal.  Beda dengan Imam Hanafi mengartikan lafadz tersebut sebagai bentuk jima’, maka jika laki-laki maupun perempuan bersentuhan maka tidak batal. Bergeser ke Imam Maliki yang mengatakan akan batal jika dibarengi dengan rasa syahwat. Lebih tegas lagi Imam Syafi’i yang menyatakan syahwat maupun tidak syahwat dari keduanya, tetap dinyatakan batal. Begitulah fikih dengan berbagai warnanya. 

Salah satu contoh perubahan yang disebabkan oleh kondisi. Salah satu contohnya adalah seorang perempuan dilarang keluar jika tidak memiliki mahram. Pernyataan tersebut jika dipakai saat ini akan memberikan kesan buruk serta beranggapan bahwa perempuan memiliki keterbatasan ruang. Maka dari itu. Penetapan hukum sangat diperhatikan dengan situasi yang ada. Perlu diketahui bahwa hukum Islam tidak hanya berlaku pada Syariat maupun fiqih, tetapi dalam kehidupan bernegara undang-undang juga termasuk dalam hukum Islam.  Jadi dapat diartikan bahwa hukum islam sumbernya ada dua, yaitu terdapat di al-Qur’an-hadist  serta yang tidak tertera dalam al-Qur’an hadist tetapi tidak menentang ketentuan hukum Islam. Salah satu contohnya traffic light yang setiap kali berjumpa di sudut jalan. Jika dicari dalam al-Qur’an maupun hadist tidak akan ketemu ayatnya, meskipun benda itu buatan manusia tetapi tujuannya untuk kemashalatan pengguna jalan.

Seseorang yang bersikap moderasi sangat dianjurkan melakukan reinterpretasi atau penafsiran ulang. Salah satu contohnya, seorang wanita yang keluar dari rumahnya harus dibarengi dengan mahram. Ustadz Kholis berpendapat bahwa kata mahram tidak hanya diartikan sebagai manusia, bahkan sistem yang berkembang saat ini dapat dikatakan mahram. Jadi seorang wanita dapat dikatakaan aman jika telah memiliki sistem keamanan.

Zaman dengan kemajuan teknologi sangat mendukung pelayanan masyarakat. Seperti halnya jika terjadi keributan, ketidaknyamanan dalam perjalanan, sampai pencurian, masyarakat dapat menghubungi kepada pihak yang berwajib. Jadi sistem yang telah tersusun akan memberikan cukup untuk keamanan bagi mereka.

Selain reinterpretasi, moderasi sangat diperlukan melalui pendekatan paradigma integrasi dan interkoneksi. Perlunya saling keterkaitan antara hukum yang ditetapkan dengan kondisi maupun situasi yang terjadi. Salah satu contoh hukum iddah yang hanya diperuntukkan untuk wanita. Hal ini dikarenakan terdapat dua faktor yaitu secara psikologis dan biologis. Secara psikologis, wanita merupakan makhluk yang sulit untuk lupa, terlebih pada suami yang telah meninggal. Sedangkan secara biologis, waktu iddah yakni selama 4 bulan 10 hari merupakan waktu yang cukup untuk membersihkan rahim wanita serta menghindari dari penyakit HIV. 

    Kalimat akhir dari ustadz Kholis, Berperilaku moderasi bukan berarti mengampang-gampangkan tetapi memberikan solutif, tidak bersikap ekstrimis maupun radikalis. Sejalan dengan penyataan Quraish Shibab pada kalimat berikut ini:

“Karena posisi yang baik adalah posisi tengah. Maka Islam menganjurkan dan mengajarkan wasathiyah (moderasi) dalam aneka aspek ajarannya.” @Afina

Komentar

Postingan Populer